Total Pecinta Ilmu

Minggu, 04 November 2012

Berakhirnya Perang Dingin dan Rekonsiliasi Jerman Barat-Jerman Timur


Berakhirnya Perang Dingin dan Rekonsiliasi Jerman Barat-Jerman Timur

Perang Dingin (1945-1990) telah membelah Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Sejak berakhirnya perang tersebut keduanya berupaya untuk bersatu dan ber-rekonsiliasi. Upaya itu akhirnya berhasil, namun bukan tanpa perjuangan yang panjang dan berliku. Tak mengherankan perjuangan rakyat Jerman telah menjadi pelajaran penting bagi rakyat di banyak negara dalam hal penyelesaian persoalan masa lalu guna mencapai rekonsiliasi. Tentu saja penting pula bagi kita di Indonesia untuk belajar dari pengalaman Jerman. Pemikiran di atas mengemuka dalam acara Diskusi Terbatas yang dibawakan oleh Dr. Bernd Schaefer, pakar sejarah Jerman dari Cold War International History Profect (CWIHP) Washington D.C., Amerika Serikat yang sekarang menjadi visiting scholar di Korea. Diskusi dimoderatori oleh Direktur PUSdEP, Dr. Baskara T. Wardaya, SJ dan diselenggarakan di Ruang Maulana, Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma, 2 Mei 2009. Penyelenggaranya adalah PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) dan Goethe Institute. Topik yang dibahas adalah “The Two Germanys, 1945 – 1990”. Acara ini dan dibuka dan dihadiri oleh Pimpinan Goethe Institute Mr. Francis Xavier Augustine. Hadir juga Direktur Pasca Sarjana USD yang baru Prof. Dr. A. Supratiknya, sejumlah dosen dan mahasiswa USD, serta warga masyarakat peminat sejarah. Dalam acara tersebut, Dr. Schaefer membahas sejarah Jerman selama Perang Dingin dan mengungkapkan berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman Timur terhadap penduduknya. Pada awal Perang Dingin Jerman terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Ketika Perang Dingin berakhir, Presiden AS Harry S Truman mengeluarkan politik pembendungan (containment policy) dengan maksud untuk menahan meluasnya pengaruh komunis. Perbedaan antara kedua Jerman semakin menguat ketika Jerman Barat bergabung dengan NATO, sementara Jerman Timur bergabung dengan Pakta Warsawa. Sementara itu Jerman Barat mengalami kemajuan di bidang ekonomi sehingga tingkat kehidupan masyarakat meningkat, sedangkan Jerman Timur semakin ketinggalan. Pada tahun 1959–1961, Jerman Timur mengalami krisis karena kelompok intelektual mereka berpindah ke Jerman Barat. Kekhawatiran akan terjadinya gelombang eksodus besar-besaran rakyat dari Jerman Timur ke Jerman Barat memaksa dibangunnya Tembok Berlin pada tanggal 13 Agustus 1961. Masyarakat di Jerman Barat bisa melakukan perjalanan kemana saja, tetapi hal itu tak terjadi di Jerman Timur. Ketika terjadi penyatuan kedua Jerman pada 3 Oktober 1990 yang dilakukan pertama-tama adalah menyelamatkan arsip-arsip terutama yang ada di Jerman Timur. Arsip tersebut digunakan untuk mengadakan screening, guna menetapkan keterlibatan orang-orang eks-Jerman Timur yang dalam penggaran HAM. Jerman juga mengeluarkan kebijakan rehabilitasi dan pemberian kompensasi kepada orang-orang yang menjadi korban kekerasan di Jerman Timur. Lantas apa yang dapat dipelajari bangsa Indonesia dari proses rekonsiliasi Jerman Barat dan Jerman Timur? Menurut Dr. Schaefer, sangat sulit membandingkan proses rekonsiliasi antara Jerman dan Indonesia. Di Jerman terjadi pertentangan tetapi proses perdamaian bisa dilakukan. Sebaliknya, di Indonesia pertentangan yang terjadi masih kuat karena pelaku belum diadili dan korban masih distigmatisasi. Oleh karena itu menurutnya yang penting adalah penceritaan kembali tentang yang apa terjadi di masa lalu. Dr. Schaefer menawarkan dua langkah yang perlu dilakukan terkait rekonsiliasi. Pertama, membuat komunitas internasional sadar akan pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kedua, dalam kasus pelanggaran luar biasa seperti peristiwa 1965, perlu ada dialog politis sehingga atas kasus-kasus masa lalu bisa menemukan jalan keluarnya. Para korban harus diberi ruang bercerita agar sejarah tidak hanya didominasi oleh para pemenang atau pelaku kekerasan. Penyelesaian bisa dilakukan setelah para korban dan pelaku bercerita serta mengakui posisi masing-masing. Menarik untuk dicatat, meskipun diskusi berlangsung selama tiga jam nyaris tak ada peserta yang beranjak dari tempat duduk masing-masing. Ini menandakan bahwa tampaknya topik yang dibicarakan sangat menarik. Dalam kalimat penutupnya, Dr. Schaefer mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud mengajari masyarakat Indonesia tentang apa yang dilakukan Jerman dalam proses rekonsiliasi. Ia banyak ingin berbagai pengalaman tentang sejarah Jerman yang siapa tahu dapat menjadi bahan pembelajaran bersama untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan masa lalu, dan bagaimana mencari upaya rekonsiliasi. “Yang penting adalah bagaimana kita semua berjuang bersama untuk menemukan dan mengungkap kebenaran”, ungkapnya. (Lisa/Darwin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar