Berakhirnya Perang Dingin dan
Rekonsiliasi Jerman Barat-Jerman Timur
Perang Dingin (1945-1990) telah membelah Jerman
menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Sejak berakhirnya perang tersebut
keduanya berupaya untuk bersatu dan ber-rekonsiliasi. Upaya itu akhirnya
berhasil, namun bukan tanpa perjuangan yang panjang dan berliku. Tak
mengherankan perjuangan rakyat Jerman telah menjadi pelajaran penting bagi
rakyat di banyak negara dalam hal penyelesaian persoalan masa lalu guna
mencapai rekonsiliasi. Tentu saja penting pula bagi kita di Indonesia untuk
belajar dari pengalaman Jerman. Pemikiran di atas mengemuka dalam acara Diskusi
Terbatas yang dibawakan oleh Dr. Bernd Schaefer, pakar sejarah Jerman dari Cold
War International History Profect (CWIHP) Washington D.C., Amerika Serikat yang
sekarang menjadi visiting scholar di Korea. Diskusi dimoderatori oleh Direktur
PUSdEP, Dr. Baskara T. Wardaya, SJ dan diselenggarakan di Ruang Maulana,
Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma, 2 Mei 2009. Penyelenggaranya
adalah PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) dan Goethe Institute. Topik
yang dibahas adalah “The Two Germanys, 1945 – 1990”. Acara ini dan dibuka dan
dihadiri oleh Pimpinan Goethe Institute Mr. Francis Xavier Augustine. Hadir
juga Direktur Pasca Sarjana USD yang baru Prof. Dr. A. Supratiknya, sejumlah
dosen dan mahasiswa USD, serta warga masyarakat peminat sejarah. Dalam acara
tersebut, Dr. Schaefer membahas sejarah Jerman selama Perang Dingin dan
mengungkapkan berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah
Jerman Timur terhadap penduduknya. Pada awal Perang Dingin Jerman terbagi
menjadi dua wilayah, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Ketika Perang Dingin
berakhir, Presiden AS Harry S Truman mengeluarkan politik pembendungan
(containment policy) dengan maksud untuk menahan meluasnya pengaruh komunis.
Perbedaan antara kedua Jerman semakin menguat ketika Jerman Barat bergabung
dengan NATO, sementara Jerman Timur bergabung dengan Pakta Warsawa. Sementara
itu Jerman Barat mengalami kemajuan di bidang ekonomi sehingga tingkat
kehidupan masyarakat meningkat, sedangkan Jerman Timur semakin ketinggalan.
Pada tahun 1959–1961, Jerman Timur mengalami krisis karena kelompok intelektual
mereka berpindah ke Jerman Barat. Kekhawatiran akan terjadinya gelombang
eksodus besar-besaran rakyat dari Jerman Timur ke Jerman Barat memaksa
dibangunnya Tembok Berlin pada tanggal 13 Agustus 1961. Masyarakat di Jerman
Barat bisa melakukan perjalanan kemana saja, tetapi hal itu tak terjadi di
Jerman Timur. Ketika terjadi penyatuan kedua Jerman pada 3 Oktober 1990 yang
dilakukan pertama-tama adalah menyelamatkan arsip-arsip terutama yang ada di
Jerman Timur. Arsip tersebut digunakan untuk mengadakan screening, guna
menetapkan keterlibatan orang-orang eks-Jerman Timur yang dalam penggaran HAM.
Jerman juga mengeluarkan kebijakan rehabilitasi dan pemberian kompensasi kepada
orang-orang yang menjadi korban kekerasan di Jerman Timur. Lantas apa yang
dapat dipelajari bangsa Indonesia dari proses rekonsiliasi Jerman Barat dan Jerman
Timur? Menurut Dr. Schaefer, sangat sulit membandingkan proses rekonsiliasi
antara Jerman dan Indonesia. Di Jerman terjadi pertentangan tetapi proses
perdamaian bisa dilakukan. Sebaliknya, di Indonesia pertentangan yang terjadi
masih kuat karena pelaku belum diadili dan korban masih distigmatisasi. Oleh
karena itu menurutnya yang penting adalah penceritaan kembali tentang yang apa
terjadi di masa lalu. Dr. Schaefer menawarkan dua langkah yang perlu dilakukan
terkait rekonsiliasi. Pertama, membuat komunitas internasional sadar akan
pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kedua, dalam kasus
pelanggaran luar biasa seperti peristiwa 1965, perlu ada dialog politis
sehingga atas kasus-kasus masa lalu bisa menemukan jalan keluarnya. Para korban
harus diberi ruang bercerita agar sejarah tidak hanya didominasi oleh para
pemenang atau pelaku kekerasan. Penyelesaian bisa dilakukan setelah para korban
dan pelaku bercerita serta mengakui posisi masing-masing. Menarik untuk
dicatat, meskipun diskusi berlangsung selama tiga jam nyaris tak ada peserta
yang beranjak dari tempat duduk masing-masing. Ini menandakan bahwa tampaknya
topik yang dibicarakan sangat menarik. Dalam kalimat penutupnya, Dr. Schaefer
mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud mengajari masyarakat Indonesia
tentang apa yang dilakukan Jerman dalam proses rekonsiliasi. Ia banyak ingin
berbagai pengalaman tentang sejarah Jerman yang siapa tahu dapat menjadi bahan
pembelajaran bersama untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan masa lalu, dan
bagaimana mencari upaya rekonsiliasi. “Yang penting adalah bagaimana kita semua
berjuang bersama untuk menemukan dan mengungkap kebenaran”, ungkapnya.
(Lisa/Darwin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar